Friday, April 23, 2010

Adalah Sebuah Satire Berbentuk Film

Adalah menertawakan diri sendiri, yang coba ditawarkan dalam film ini. Film yang rilis pada 15 April lalu begitu sarat dengan sindiran yang dibalut guyonan khas Dedi Mizwar dalam film-filmnya, sesuai dengan genre film yang ditulis di resensi 21cineplex.com: comedy satire. Alangkah Lucunya (Negeri Ini) mencoba mengangkat kebiasaan buruk yang sering dilakukan masyarakat kita seperti suap dan nepotisme sekaligus menyentil pemerintah (film ini ditutup dengan sebuah tulisan besar pasal 34 UUD 1945).

Adalah Muluk (Reza Rahadian), seorang sarjana manajemen, yang menjadi tokoh sentral dalam film ini. Hampir-hampir berternak cacing karena selalu ditolak lamaran pekerjaannya, ia akhirnya menggunakan ilmunya sebagai pengembang sumber daya manusia, khususnya pencopet. Dengan mengajak temannya, Samsul (Asrul Dahlan), sarjana pendidikan yang kerjaannya hanya main gaplek karena tidak punya koneksi dan uang untuk mendapat pekerjaan, dan Pipit (Ratu Tika Bravani), sarjana muda pengagguran yang keranjingan kuis di televisi, Muluk mencoba memberikan pendidikan kepada para pencopet muda itu dengan tujuan mereka tidak lagi mencopet dan mendapatkan penghidupan yang layak. Sayangnya, mereka dihadapkan dilema: pendapatan yang mereka peroleh dari mendidik pencopet-pencopet itu hasil copetan, bukanlah uang yang didapatkan dari kerja yang halal, padahal mereka butuh penghasilan. Hal ini yang menjadikan bapak-bapak mereka, Pak Makbul (Dedi Mizwar) dan Haji Rahmat (Slamet Rahardjo), begitu kecewa.

Adalah momen tersebut, ketika kedua bapak itu menangis mendapati anaknya memperoleh rezeki yang tidak halal, scene yang membuat dada bergemuruh. Momen menyentuh lainnya yaitu ketika pencopet-pencopet itu mengumandangkan Indonesia Raya, plus ‘Amin’ setelah “Hiduplah Indonesia Raya”. Konflik yang disuguhkan dalam film relatif sama seperti film-film Dedi Mizwar sebelumnya dalam segi bobot, yakni bukan konflik berlebihan dan cenderung dibuat ringan, namun penuh dengan siratan pesan.

Adalah sebuah perdebatan tentang pendidikan: penting atau tidak penting, yang menjadi isu utama film yang disutradarai Dedi Mizwar ini. Film ini sendiri menyodorkan beberapa pesan yang dapat digunakan penontonnya menarik kesimpulan sendiri:
  1. Seorang pencopet butuh pendidikan agar dapat membaca sehingga tidak bersembunyi ke kantor polisi jika dikejar massa
  2. Seorang politikus perlu pendidikan supaya dapat mengoptimalkan notebook seharga lima belas juta rupiahnya dengan tidak hanya menjadikan notebook itu akuarium.
  3. Seorang pencopet yang berpendidikan tidak dikatakan pencopet, tetapi koruptor, yang tentunya hasilnya lebih banyak dan lebih aman.
  4. Seperti kata Muluk kepada Samsul, “kalo lo nggak berpendidikan, lo nggak bakal tau kalo pendidikan itu nggak penting. Makanya pendidikan itu penting.”

Adalah tujuh puluh persen dari pencopet-pencopet tersebut merupakan anak jalanan sungguhan. Mereka dilatih selama dua bulan dan ternyata hasilnya memuaskan. “Hal ini menandakan bahwa mereka hanya butuh kesempatan,” kata Dedi Mizwar di Apa Kabar Indonesia, pagi 15 April lalu.

Adalah Ribut (Sakurta Ginting) alasan saya menulis resensi dengan cara sedemikian berantakan ini.

2 comments: