Thursday, April 22, 2010

Rp665.000,00

M. Soleh, itu yang terbaca di bordiran hitam bagian dada kanan seragam cokelat susunya oleh saya dari depan kaca bening loket meja pelayanan pajak mobil. Kemudian dia bertanya, “Kok dateng jam segini? Mestinya siang tadi. Kerja dulu, ya?” “Kuliah, Pak,” jawab saya. “Oo, dimana?” tanyanya lagi. “STAN, Pak. Bintaro,” jawab saya lagi dengan sedikit menyesal dalam hati kenapa tidak bilang ‘ya’ saja. “Wah, bakalan jadi pegawai pajak, dong,” sahut beliau. “Saya bukan pajak, Pak,” balas saya pelan –mungkin ia tidak mendengarnya--. Saya kira ia akan menyebut Gayus.

Samsat Cinere, sekitar pukul setengah tiga, begitu sepi. Tinggal saya yang sedang mengurus balik nama BPKB dan perpanjangan STNK Si Biru (motor saya), beberapa pegawai Dispenda dan Polantas (termasuk Pak Soleh) yang memang berkantor di sana, dan siswi-siswi SMK yang (mungkin) sedang magang. “Ini sekitar enam ratus lima puluhan, lah,” kata polisi di samping Pak Soleh setelah memeriksa STNK yang saya berikan. “Itu udah semua, Pak? Sama pajaknya?” tanya saya. “Iya, sama ongkos kurirnya juga,” jawabnya. “Yaudah deh, Pak. Di sini aja,” kata saya. Daripada jauh-jauh ke Samsat Depok II, lebih mudah bagi saya menyepakati tawaran jasa ‘kurir’ dari bapak-bapak ini. Kemudian rekan Pak Soleh ini memanggil seseorang yang kebetulan lewat di depannya, “Cek fisik, nih,” katanya seraya menunjuk saya dan menyodorkan selembar lima puluh ribuan kepada orang yang dipanggil itu dengan tergesa berkata, “bilang aja Pak Soleh.”
Selesai cek fisik, saya diminta memfotokopi beberapa berkas. Tempat fotokopinya ada di lantai bawah Samsat, ‘fasilitas’ yang memadai dan cukup membantu buat saya karena si tukang fotokopi sudah tahu apa yang dilakukan dengan hanya saya menyerahkan berkas-berkas itu. Di tempat fotokopi saya berpapasan dengan seorang bapak berumur sekitar lima puluhan. Bapak itu didatangi seorang yang berseragam sama dengan pemeriksa cek fisik motor saya yang menyerahkan beberapa lembar surat dan menerima selembar dua puluh ribuan dari si bapak. Setelah orang berseragam itu pergi, bapak itu bertanya kepada tukang fotokopi, “segitu cukup kan?” “Cukup, Pak,” jawab si tukang fotokopi yakin. Jawaban itu mendorong saya ikutan bertanya setelah bapak lima puluh tahunan itu pergi, “Pak, kalo balik nama begini emang ‘mestinya’ kena berapa?” “Ya, paling nggak jauh, dek. Sekitar segitu juga. Ngurusnya ribet. Yang ini buat Pemda, yang ini buat Polisi, buat arsip, terus yang ini buat jalan adek. Udah gitu ngurus cap-nya mesti ke Jakarta soalnya platnya B. Mesti ke Polda,” terangnya sambil menunjukkan berkas-berkas yang sudah dibuat rangkap empat. “Delapan ribu aja, dek,” lanjutnya yang menandakan transaksi kami hampir selesai.

Ada dua kutub dalam masalah birokrasi: yang pertama adalah pembuat kebijakan yang berpegang pada prinsip kalau bisa dibuat susah, kenapa jadi mudah?; dan di kutub sebaliknya adalah masyarakat sebagai ‘korban’ birokrasi dengan karakter khas Indonesia mau gampangnya saja. Inilah sebuah kondisi yang sangat baik bagi para pelaksana birokrasi, termasuk Polisi dan PNS, sebagai pihak yang dapat ‘menjembatani’ keduanya dengan segala kesempatan yang tercipta.

“Udah semester berapa, dek?” tanya Pak Soleh seraya mengurus berkas-berkas yang saya berikan setelah dari tempat fotokopi. “Enam, Pak. Terakhir,” jawab saya. “Wah, udah mau lulus dong. Asal jangan kaya Gayus aja. Cari uang yang aman-aman aja,” katanya lagi. “Insya Alloh, Pak,” balas saya sambil mengambil sebuah kesimpulan dalam pikiran bahwa untuk saat ini bicara tentang kampus saya tanpa menyebut Gayus seperti sayur tanpa garam.
“Keponakan saya kemarin ikut ujian masuk STAN, tapi nggak lulus. Akhirnya diterima di Akademi Imigrasi. Orang-orang pada bayar sampai seratus, seratus lima puluh, untung keponakan saya IQ lumayan, jadi nggak gede-gede banget bayarnya,” cerita Pak Soleh lagi yang sedang menunggu rekannya mengurus berkas-berkas. Tadinya saya mau bilang kalau di kampus saya sepertinya tidak ada bayar-bayaran seperti itu, tapi Pak Soleh kembali bertanya, “Emang bapaknya kerja dimana?” “Depdiknas, Pak. Tapi sekarang udah nggak ada,” jawab saya sekaligus membatalkan mengatakan isi pikiran saya barusan.
“Dek, pas beli motor kalau bisa minta kuitansinya, atau kertas ditempel meterai. Itu penting buat ngurus balik nama begini. Beli apapun juga begitu kalau bisa,” nasihat Pak Soleh. “Wah, udah lama sih, Pak, belinya. Bapak saya yang beli waktu itu,” elak saya, dan sepertinya tidak diperhatikan oleh Pak Soleh.

Saya berpapasan dengan rekan Pak Soleh, yang sepertinya akan pulang ketika memasuki kembali ruang utama Samsat Cinere yang semakin sepi. Tergopoh-gopoh sambil membawa tas jinjing warna-warni, polisi itu kembali ke tempat duduknya setelah saya berikan materai nominal enam ribu yang baru saya beli seharga tujuh ribu rupiah. “Paraf saja, disini. Nggak bisa kalau saya yang paraf,” kata polisi itu kepada saya sambil menyodorkan kertas kosong yang sudah ditempel materai. “Yak, kalau begitu nanti Senin sore atau Selasa pagi saya telepon,” ucap polisi rekan Pak Soleh itu sambil mengajak saya salaman dan memberikan brosur mobil Suzuki.

1 comment:

  1. wew,,,nemu anak STAN lagi...
    akuntansi kah????
    kalo aku lulus 2 taun lalu..
    hehehehe

    ReplyDelete