Thursday, December 24, 2009

Pengendara Babi

kenapa merasa pintar, setelah etika kamu langgar;
dan begitu bahagia, saat berbuat aniaya?

hinalah kalian banci-banci pengendara babi,
yang tertawa gembira karena berhasil menerobos lampu merah,
yang tak pernah merasa salah karena memang berjamaah.

Sunday, December 13, 2009

Setahun Kemarin

Setahun Kemarin - Kahitna


di ujung jalan itu setahun kemarin
ku teringat ku menunggumu
bidadari belahan jiwaku
entah berapa lama satu jam menanti
kutermenung
kencan pertama hilang tak bertepi di anganku
melangkah pergi
berteman sepi
berbayang teduh matamu
sayang, walau bulan tak bercahaya
cintaku selalu dalam jiwa
di lubuk hati terdalam
sayang, jika memang kau sungguh sayang
diriku takkan berpaling lagi
kupeluk selamanya

***

Entah, (atau sebenarnya saya sudah tahu) saya sedang ingin mendengar lagu ini berulang-ulang. Memang sebenarnya jika secara keseluruhan, lirik lagu ini berbeda dengan apa yang terjadi pada saya setahun lalu (meskipun memang terjadi di ujung jalan).

Thursday, December 10, 2009

Tentang Hidup

Suatu sore, Tika, adik perempuan saya yang saat ini kelas 2 SMP, tiba-tiba saja bertanya: “Mas, arti hidup itu apa sih?”

***

Hingga saat ini saya sering mendengar orang berkata, “Saya yang sudah hidup hingga …tahun saja masih belum mengerti maksud saya hidup apa.” Sementara beberapa orang mencoba mengartikan hidup dengan lebih filosofis. Hidup adalah pilihan. Hidup adalah perjuangan. Hidup adalah perjalanan. Hidup adalah .... Jika ditanya mana yang tepat, maka saya akan menjawab semuanya tepat karena memang seharusnya demikian hidup itu, atau saya pun dapat menjawab semuanya salah karena hidup tidak terbatas pada filosofi yang demikian abstrak dan cenderung memaka jika diartikan.
Namun saya tak dapat, pun tak boleh, memungkiri ayat keduapuluh dari surat Al Hadid:

“Ketahuilah, sesungguhanya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam – tanamannya mengagumkan para petani; kemudian ( tanaman ) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.”

Daripada berkontemplasi mencari makna hidup sebenarnya, saya lebih suka bertanya tentang tujuan hidup. Toh, pada dasarnya mencapai titik yang sama. Pencarian makna hidup akan bermuara pada bagaimana seseorang menjalani hidupnya sesuai dengan arti hidup yang telah ditemukannya dan dianutnya. Sementara dengan mengetahui tujuan hidup, malah akan terlihat lebih jelas arah hidup kita. Analoginya yaitu “pergi ke Gramedia untuk membeli buku” akan terlihat lebih nyata daripada “pergi membeli buku”.
Meskipun saya termasuk orang yang suka berfilosofi, saya tidak mau berfilosofi untuk masalah tujuan hidup. Apalagi sebagai seorang yang mengaku beriman –dan berusaha “menggigit dengan geraham” apa yang saya percaya—, saya tidak berpikir untuk repot-repot mencari tujuan hidup. Dalam sebuah “manual kehidupan” yang tak dapat dipungkiri kebenarannya tertulis:

“Tidaklah Ku-ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Q. S. Adz Dzariyat: 56)

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“. (Q. S. Al-Baqarah: 30)

Memang tidaklah cukup untuk memahami dua tujuan di atas dengan membacanya saja. Tapi, mengingat kapabilitas dan kapasitas saya yang belum memadai, saya tak berani untuk mengajinya sendiri di sini. Saya hanya mengajak untuk mengajinya lebih dalam kepada orang-orang yang tepat.

Di luar itu semua, masih mengenai hidup, saya begitu terpesona pada sebuah analogi dari orang yang begitu saya kagumi:
"Kehidupan di dunia itu seperti sebuah pohon yang rindang di tengah perjalanan yang panjang, kemudian kita beristirahat di bawahnya."
Ya, hidup itu memang melenakan, tapi bukanlah tujuan yang sebenarnya dari keberadaan kita. Saya pun merasa iba melihat orang-orang yang menjadikan hidup di dunia sebagai tujuan akhirnya.

***

Ditanya seperti itu oleh adik saya, membuat saya bingung. Kebingungan kenapa dia bisa-bisanya bertanya seperti itu –saya merasa Tika mulai teracuni pikiran-pikiran sok filosofis dan idealis saya, meskipun ketika saya tanya dia hanya menjawab, “cuma nanya aja”— dan bingung menjawabnya. Saya, yang saat itu sedang sibuk dengan iga terakhir dari sop saya, menjawab sekenanya, “hidup, ya, proses sebelum mati.”