Monday, March 14, 2011

Bucket List

Waktu kecil dulu, sekitar 3--6 tahun-an, kalau ditanya: "cita-citanya apa, ip?" Saya yang umur-umur segitu lagi keranjingan Kotaro Minami, Jason, Billy, Trini, Kimberley, dan Jack (eh, ranger hitam itu Jack atau Adam?) dengan senang menjawab, "mau jadi polisi, biar bisa nangkepin penjahat." Beranjak sekolah, cita-cita juga ikut berubah, pernah mau jadi pemain bola--meskipun kalau lari lima menit napas jadi Senin--Kamis--, pernah juga mau jadi peneliti yang akhirnya bingung sendiri: "peneliti itu kerjanya apa ya?" Hingga tiga cita-cita yang saya tulis di biodata buku tahunan SMA: jadi dokter, foto saya dipajang di sebelah kiri Burung Garuda, dan jadi bapak. Untuk jadi bapak saya masih punya harapan (dan sangat-sangat berharap saya jadi bapak, bukan ibu). Kalau jadi presiden saya pikir-pikir ulang lagi kalau liat kondisi sekarang: tanggung jawabnya terlalu besar, apa-apa disalahin, ada masalah ujung-ujungnya pemerintah, padahal gaji tidak lebih besar daripada gaji Direktur Pertamina (ini yang terakhir saya tahu, ya. Kalau ternyata sekarang gaji presiden lebih tinggi pun tetap saya tidak mau) Lagipula presiden itu jabatan, jabatan itu amanah, amanah bukan untuk dicari meskipun jika diberi amanah jangan lari. Yang lebih penting lagi: memang ada yang percaya saya untuk jadi pemimpin? Jadi korlip dan mengurus ikatan alumni saja amburadul dan menyebabkan kebotakan dini pada kepala saya. Tapi, intinya adalah dulu saya selalu senang jika ditanya tentang mau jadi apa saya di masa depan, bagaimanapun kondisi saya setelah itu. Seakan ada semangat tambahan jika menceritakan harapan ke orang-orang.

Untuk cita-cita jadi dokter, saya pikir inilah "initial problem" (maksudnya adalah masalah yang menjadi awal dari masalah-masalah terkait) saya dalam memiliki dan meraih cita-cita. Setelah gagal SNMPTN seakan-akan kegagalan meraih cita-cita saya datang berbaris-baris dan jadi hal yang biasa saja. Alih-alih semakin gigih berusaha, saya malah takut memiliki cita-cita. Lihat saja postingan saya terdahulu, dari belasan target yang saya canangkan, yang saya jalankan hanya beberapa, dan itu pun putus di tengah jalan.

Sayangnya, seakan melihat ketakutan saya untuk memiliki cita-cita, ketika tingkat tiga di STAN, dosen KSPK (Kapita Selekta Pengembangan Kepribadian) saya yang ternyata aktif jadi pengisi rubrik di eramuslim.com dan dakwatuna.com memberi tugas untuk membuat semacam life map untuk jangka panjang. Alhasil, jadilah tugas itu sebuah proyek kebohongan: membohongi dosen saya dan diri sendiri karena menulis cita-cita palsu. Jadinya seperti ini:














Sebenarnya saya tidak tahu bagaimana life-map itu mesti dibuat. Saya pun ambil simpel saja, saya print gambar-gambar diatas seukuran kotak kopi per gambar, saya rekatkan pada karton, kemudian saya masukkan ke dalam kotak kopi yang telah dilapisi kertas dan ditulisi Bucket List dengan krayon macam anak TK.

Meskipun cita-cita yang dituliskan itu bohong-bohongan, karena saya sudah terlanjur mempublikasikannya dan sebagai laki-laki, saya merasa punya kewajiban untuk mewujudkannya, atau setidaknya mengusahakan untuk mewujudkannya, atau setidaknya (lagi) meniatkan untuk mengusahakan demi mewujudkannya. Lagipula sampai saat ini belum ada yang tertulis di sana mesti direvisi.