Sunday, March 21, 2010

Salah Kaprah

Kadang, hal yang kita percaya kebenarannya dalam jangka waktu yang lama bisa patah begitu saja karena kenyataan yang baru dialami. Hari-hari belakangan ini saya menemukan beberapa fakta yang menunjukkan kepada saya bahwa saya selama ini salah kaprah dalam beberapa hal.

1. Sebelumnya saya menganggap sleep paralysis yang sering saya alami dikarenakan saya tidur di tempat yang gelap dan posisi tidur yang salah. Saya merasa demikian karena saya selalu merasa sulit untuk bangun padahal merasa sadar (gejala sleep paralysis) ketika tidur sesudah subuh di bulan puasa dengan mematikan lampu kamar dan menghadap ke tembok. Namun belakangan ini saya mengalami gejala tersebut, padahal saya tidur dengan waktu, kondisi, dan posisi yang berbeda. Setelah melakukan beberapa riset, kesimpulan yang saya dapat adalah gejala sleep paralysis akan saya sering alami jika waktu tidur saya berkurang banyak dalam tempo yang lama.

2. Selama ini saya merasa saya alergi makanan laut dan perilaku saya yang suka pilih-pilih makanan merupakan perilaku yang harus saya ubah. Ternyata, setelah makan belalang, saya tidak hanya alergi makanan laut, dan kenapa saya begitu pilih-pilih makanan adalah karena badan saya begitu responsif terhadap makanan yang saya makan --badan saya langsung gatal-gatal dalam hitungan menit setelah saya makan belalang--. Jadi saya tidak merasa perlu mengubah perilaku pilih-pilih makanan yang saya miliki.


3. Sebelumnya saya beranggapan kerokan merupakan kebiasaan buruk yang sering ibu saya lakukan. Namun kemarin berkat kerokan ibu saya pada pukul 3 dini hari, saya terselamatkan dari linu di seluruh sendi tangan kiri dan kanan.

4. Selama ini saya beranggapan bahwa kematian merupakan hal yang menakutkan. Namun, ternyata kematian adalah hal yang menyedihkan.

5. Saya merasa tidak akan dapat melepaskan diri dari bayang-bayang dan harapan tentangnya, dan saya berharap saya salah kaprah.
*****

Mungkin bagi yang sudah membaca mengapaterlaluserius.blogspot.com atau shintiya.avesena.net merasa ini sama saja dengan postingan mereka. Tapi, saya berani berkata: jangankan meniru, terinspirasi saja tidak. Hanya saja mereka bergerak lebih cepat dari saya.

Thursday, March 18, 2010

Media dan Kuasa

Four hostile newspapers are more to be feared than a thousand bayonets

Empat surat kabar musuh lebih ditakutkan daripada seribu bayonet. Ucapan Napoleon Bonaparte, seorang kaisar Perancis yang hampir menguasai seluruh daratan Eropa, membuktikan media massa memang memiliki pengaruh yang besar sejak dahulu. Pengaruh yang besar ini pun disadari oleh rezim-rezim otoriter semacam Musolini, Hitler, atau Pol Pot untuk mempropagandakan pahamnya. Demikian pula yang terjdi di negara ini, meskipun tidak secara eksplisit, keberadaan media massa di Indonesia dibatasi kebebasaannya untuk kepentingan pemerintah hingga era reformasi. Usaha pemerintah untuk menjinakkan media terlihat sejak zaman Belanda melalui RR 1856, kemudian orde lama lewat Peraturan Peperti No. 10 tahun 1960, hingga orde melalui Departemen Penerangan dengan instrumen yang terkenal sebagai SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Pembatasan ini menjadikan pengaruh yang dimiliki media secara tidak langsung diorientasikan sebagai partisan pemerintah.

Pada saat ini, ketika pers mendapat kebebasan yang dilindungi oleh hukum , pengaruh media massa menjadi semakin meningkat. Bahkan media massa lebih dipercaya dari pemerintah. Isu-isu tentang kesalahan atau kegagalan pemerintah cepat beredar di masyarakat. Sementara itu pemerintah tak dapat mengelak dari tekanan dari masyarakat, terutama media. Apa yang menyebabkan media massa memiliki pengaruh yang sedemikian kuat? Redi Panuju, dalam bukunya yang berjudul Relasi Kuasa, menyebutkan empat faktor yang menjadikan media massa begitu berpengaruh:
1.       Media menciptakan kesan (image)
2.       Media massa mampu memberikan liputan apa yang terjadi menjadi lebih nyata
3.       Media massa merepresentasikan pandangan-pandangan yang dipakai masyarakat
4.       Media diyakini sejak lama menjadi semacam kanal yang berfungsi mengalirkan emosi dan kecenderungan distruktif psikologis lainnya yang menjadi gejala internal (individu) yang wajar (normal)

Tidak dapat disangkal, di era informatika ini, urgensi akan media semakin meningkat sebab setiap orang membutuhkan informasi yang cepat dan tepat demi menjamin aktualisasi dirinya masing-masing. Dalam hal ini, adalah peranan media massa untuk menyediakan informasi bagi khalayak. Sejak era reformasi, euforia kebebasan yang didengungkan menjadikan media massa berkembang begitu pesat. Secara kuantitatif, berdasarkan data yang diperoleh dari antara.co.id,  dapat dilihat pada setahun pascareformasi jumlah media cetak melonjak menjadi 1.687 penerbitan atau bertambah enam kali lipat padahal selama 32 tahun era Orde Baru hanya berdiri 289 media cetak, enam stasiun televisi dan 740 radio. Jumlah media cetak  pada 2008 telah berkurang dan tercatat sebanyak 830, sedangkan jumlah televisi meningkat menjadi  60, radio berizin 2.000, dan 10 ribu radio gelap. Sementara itu, jumlah wartawan saat ini mencapai 40 ribu orang. Tak ayal, media massa menjadi begitu mendominasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Jenis Media
Tahun 1997
Tahun 1999
Surat kabar
79 perusahaan
299 perusahaan
Tabloid
88 perusahaan
866 perusahaan
Majalah
141 perusahaan
491 perusahaan
Buletin
8 perusahaan
11 perusahaan

Degradasi dalam Dominasi

Meskipun jumlah media massa meningkat demikian drastis, ternyata, berdasarkan hasil riset yang dilakukan di seluruh dunia, tingkat kepercayaan masyarakat atas fakta yang disampaikan oleh media massa ternyata menurun. Misalnya pada survey Trust Barometer 2009 yang  didasarkan pada wawancara dengan 4.475 orang di 20 negara, menemukan bahwa hanya 28 persen dari Inggris percaya publik media pada umumnya. H.  Ansyari Thayib, mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim, dalam ceramahnya di tahun 2001 menyatakan pernah meniliti bahwa lebih dari lima puluh persen responden yang menyatakan tidak percaya terhadap realitas faktual yang disampaikan media. Sehingga ungkapan yang mengatakan “makin cerdas wartawan, makin cerdas masyarakatnya; makin bodoh wartawan, makin bodoh pula masyarakatnya” berganti bunyi menjadi “makin cerdas wartawan, makin cerdas masyarakatnya; makin bodoh wartawan, makin tidak percaya masyarakatnya”. Sementara itu, dari 200 lembar kuisioner yang telah disebarkan, 62% responden yang berasal dari mahasiswa STAN menyatakan percaya tehadap media massa secara umum. Selain itu, lebih dari setengah responden menyatakan cukup terpengaruh terhadap pemberitaan media massa meskipun  46% menyatakan media massa kurang independen.
Konsep media sebagai pilar demokrasi keempat, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, kini juga makin kurang populer.

Faktor utama yang menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap media yang paling utama yakni media massa saat ini cenderung berkembang ke arah bisnis daripada pengabdian kepada masyarakat yang seharusnya menjadi idealisme seorang wartawan. Berdasarkan kategori iklan dan kualitas media, Dewan Pers mencatat hanya sekitar 30 persen dari 1008 media massa yang sehat secara bisnis. Akibatnya, demi keberlangsungan usahanya secara ekonomi, media massa kini cenderung dikuasai oleh pemilik modal, termasuk para politikus, yang menggunakan media demi keuntungan komersial maupun menunjang kekuatan politik daripada memeberikan pencerdasan dan pencerahan kepada masyarakat.

Dari fakta yang ada, bullet theory, yang menyatakan media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa, memang sudah tidak relevan lagi mengingat kepercayaan masyarakat terhadap media yang makin menipis. Tetapi dalam teori komunikasi massa juga dikenal teori agenda setting. Media memang tidak dapat mempengaruhi secara langsung masyarakat, tapi dapat mempengaruhi masyarakat mengenai isu mana yang patut dibahas. Apa yang diberitakan media saat ini selalu menjadi isu yang kerap dibahas. Meskipun tidak membentuk opini publik secara utuh, pengaruh ini mengarahkan masyarakat untuk menilai urgensi suatu isu untuk diselesaikan, sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah, juga masyarakat. Dengan pengaruh seperti ini, para penguasa media dapat saja mengalihkan isu yang merugikan dirinya jika dibahas ke isu lain yang tidak ada kaitannya. Namun tidak sepenuhnya stimulus yang diberikan media, terutama di Indonesia, berimplikasi negatif terhadap masyarakat. Misalnya saja pada kasus Bilqis, media massa memiliki andil serta dalam mengarahkan perhatian massa di tengah suasana politik negeri ini yang sedang panas untuk menunjukan simpati terhadap sesama.


Tuesday, March 16, 2010

Our Late Nite Conversation

Apa yang dilakukan ketika bertemu dengan orang yang dikagumi?
A. menjabat tangan
B. menyapa
C. berfoto bersama
D. BERBINCANG-BINCANG


Jadi, begini ceritanya.
Belum lama ini, Efek Rumah Kaca jadi pengisi acara di kampus saya. Saya, sebagai penggemarnya, tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan ini. Pikir-pikir, kalau cuma melakukan tiga pilihan awal di atas, apa istimewanya? Oleh karena itulah, bermodalkan pers card saya mencoba untuk bercakap-cakap dengan kedok wawancara, meskipun memang jadinya wawancara. Inilah hasil pembicaraan tengah malam setelah mereka tampil antara saya, Paung, dan Efek Rumah Kaca.*

Arif: Apa alasan utama ERK indie? Karena tidak ada tawaran atau memang idealismenya indie?
Cholil: Sampai sekarang masih coba indie karena kita yakin aja bahwa musik yang kita mainkan itu ...
Akbar: Gak laku (tertawa). Karena emang ga ada yang mau kontrak kita. Industri tuh yang mau mengangkat lagu kita begitu kan? Mana mau lah? Mana yang cocok, kira-kira lagu-lagu yang muncul di tv sama lagu yang kita bawain cocok gak? Ya itu, karena memang belum ada yang mau. Kita sih mau-mau saja kalau industri ada yang nawarin. Jadi kalau ada yang nawarin, mau. Asal lagu-lagu yang sudah kita bikin itu dan sudah kita punya itu gak diapa-apain. Kalau diperbagus sama dia, dimatangkan lagi, ditebalkan powernya, kita mainnya lebih bagus lagi, oke. Di-take ulang boleh deh, tapi konten lagunya gak boleh diintervensi.

Arif: Alasannya apa kok tidak boleh diintervensi?
Akbar: Ya iyalah, bikin lagu gak gampang. Itu kan lagu-lagu gue.
Cholil: Kalau di mau intervensi, belum tentu yang ada dipikiran dia lebih baik buat pasar. Okelah ngomongin pasar, ya. Kalau dia major label, probabilitas band yang di major label, misalkan Sony punya 100 artis, dari 100 artis itu pasti semuanya sudah mengikuti kemauan Sony, kan? Berapa artis Sony yang meledak? Paling 10 persen, ya? Artinya 90 persen dari kemauan dia gagal. Ya, gak? Buktinya gak meledak. Jadi belum tentu yang kemauannya itu bagus. Jadi begini, statistiknya kalau pakai angka aja bisa dilihat, paling artis Sony dari sekian banyak yang ngetop: Padi, siapa, siapa, yang gede-gede banget begitu. Yang kecil-kecilnya banyak-banyak banget yang gagal, The Groove, siapa, siapa, gagal-gagal semua. Artinya intuisi mereka juga gak selalu bagus. Statistiknya mengatakan paling banyak 20 persen yang sukses. 80 persen yang gagal. Artinya belum tentu kalau kita diubah, sudah diubah, tidak sesuai dengan hati kita, tidak laku juga, buat apaan kan?

Arif: Intinya indie itu karana gak mau jadi yang 80 persen itu atau ada idealisme sendiri dari tiap lagunya?
Cholil: Karena ini memang lagu kita. Kita yang paling tahu bagaimana memainkannya. Tidak perlu intervensi orang lain. Kalau mereka mau merilis kita dengan kita mengintervensi, menurut kita oke.

Arif: Lagu-lagu ERK kan banyak yang istilahnya idealis, menantang, atau bahasa lainnya subversif. Apa sih tujuannya? Kenapa tidak ikut pasar aja? Karena selera atau ada maksud tertentu?
Cholil: Subversif ya? Kita tidak tertarik untuk buat lagu yang itu-itu saja. Buat apa buat lagu-lagu itu, sudah ada, kan. Lagu patah hati sudah banyak, buat apa kita ikut-ikut lagi, kecuali kita mengalami yang sangat spesial. Sebenarnya kita tidak anti lagu cinta begitu, tapi jangan kebanyakan juga karena kenyataannya kita hidup itu tidak cuma cinta, banyak macam, kita ada yang kuliah, kerja, segala macam. Di kuliah, sekolah, kerja menemui problematika, itu sangat menarik semuanya untuk diangkat jadi lagu. Berhubung lagu cinta sudah banyak yang angkat, lagu yang lain jarang, jadi kita angkat. Kebetulan kita memang tertarik dengan tema-tema yang kita angkat juga. Jadi kita tidak akan angkat lagu yang kita tidak tertarik, semuanya kita tertarik karena percuma, biar laku kita mengada-ada tema yang jarang tapi sebenarnya kita tidak tertarik di situ.

Arif: Pendapat ERK tentang industri musik saat ini?
Cholil: Industri musik Indonesia beruntung ada ringback tone, mungkin. Kalau ga ada ringback tone mungkin sudah hancur, nih. Penjualan fisik hancur. Toko-toko kaset banyak yang tutup, kan? Sekarang yang berjaya ringback tone itu berarti perusahaan selular, provider telepon. Menurut gue sih industri musik tidak improve dirinya dia sehingga dia telat cari jalan keluar. Beruntung ada ringback tone, walaupun itu sebenarnya bukan merupakan suatu strategi yang diciptakan dari awal. Kalau tidak ada ringback tone sudah habis. Artinya industri musik seharusnya tidak melulu memikirkann duit, tapi harus ada itikad baik di dalamnya untuk kita membuat pondasinya kuat, itu orang-orangnya dididik untuk tidak mudah berpaling dari suatu produk ke produk yang lain. Ada sesuatu industri musik yang membuat orang loyal. Sekarang kan tidak loyal, kecuali di indie. Di indie orang-orangnya loyal. Dia sudah download nih, idenya ada, terus dia beli. Agak sedikit berbeda dengan di industri musik. Kita release hari Minggu, hari Rabu sudah ada di internet. Album kita yang baru baru dua hari sudah ada di internet, orang-orang pada download. Tapi tetap saja orang-orang pada beli. Mungkin download sebagai taster, kalau cocok beli.

Arif: Jadi secara tidak langsung pembajakan itu membantu buat indie ya?
Cholil: Bukan membantu maksudnya, dia jadi instrumen. Jadi sekalian saja, kalau dia tidak bisa dilawan, digunain aja. Jadi main marketing.

Paung: Apa tanggapannya mengenai net label?
Cholil: Itu bagian dari perkembangan digital, sekalian saja. Kalau orang cari uang dari penjualan fisik atau digital, dia gratiskan saja, kemudian dia mencari kemampuan finansial dari manggung, merchandise.
Paung: Kalau boleh tahu, pendapatan terbesar ERK dari mana?
Cholil: Pendapatan terbesar ERK dari manggung
Akbar: Manggung dan jual kaos atau merchandise.
Cholil: Maksudnya manggungnya memang tidak mahal, ya. Tapi kita suggest sering manggung. Kalau kita sering manggung kan otomatis ya dapat lah. Tapi yang penting bisa menyebarkan musik dulu.
Akbar: Memang perlu waktu
Cholil: Kalau di indie orang-orang punya endurance untuk cari musik yang bagus. Kalau di tv, lo mau cari musik bagus nggak ada. Akhirnya lo mesti effort sesuatu yang lebih, misalnya lo pergi ke mana. Kalo orang-orang yang mau cepet kan, “yaudah, deh, yang ada di tv saja gue cukup senang.” Itu ada karakter: yang satu ingin instan, yang satu punya usaha lebih.

Arif: Itu bukannya selera ya?
Cholil: Iya selera, betul.

Arif: Jadi kalau seleranya memang ada di tv tidak masalah dong?
Cholil: Kalau lo nggak tahu yang lain, apa lo tahu bahwa itu selera lo? Lo perlu tahu dulu yang lain. Ketika yang lain ada, belum tentu lo nggak selera kan? Ini artinya ada keterbatasan di media. Media nggak fair. Dia nggak netral untuk selalu berpihak, mana yang bisa menghasilkan profit yang lebih, yang ditampilin media. Kalau semua ditampilin di media terus nggak laku sih nggak masalah. Tapi masalahnya ada barrier. Musik alternatif yang berat, bukan berat, yang explore, dia nggak bisa dapet tempat di tv, di media-media besar, karena mungkin dia bukan dari kapital yang besar sehingga dia nggak sharing keuntungan atau apapun itu. Pokoknya ada hambatan. Siapa yang bisa tau musiknya Efek Rumah Kaca kalau dia nggak pernah didengerin. Kalau dia nggak pernah dengar Efek Rumah Kaca bukan berarti dia ga suka Efek Rumah Kaca kan? Gimana caranya dia bisa tahu Efek Rumah Kaca orang nggak pernah kemana-mana, nggak pernah berusaha untuk tahu, sedangkan kita dapat hambatan: boleh kita main di Inbox, Dering, dsb, lo harus bayar sekian. Ah, nggak menarik juga, nggak apa-apa, bukan prioritas kita.

Arif: Jadi kalau ditawarin main di Inbox atau dering mau-mau aja kan?
Cholil: Mau. Tapi kalau kita dimintain duit, kita ga mau. Kita ga punya duit.
Akbar: Kita main semua. Di acara tv kita semua main.
Cholil: Inbox nggak pernah
Akbar: Oh, kecuali Inbox belum

Arif: Di tweetnya Efek Rumah Kaca pernah bilang: “Jika musisi mau menularkan kecerdasannya, pasti pendengarnya jadi cerdas juga.” Maksudnya apa?
Cholil: Menurut gue, anak-anak indie lebih punya endurance, lebih punya pendengarnya, lebih punya sikap, yang bisa jadi karena spirit dari band-band itu, dari lagu-lagunya. Lagu-lagunya itu udah bisa menularkan bagaimana lo bersikap. Kalo yang begitu-begitu aja ya lo akan jadi begitu-begitu aja. Musik cuma hiburan. Tapi buat orang-orang yang punya spirit, musik lebih dari sekedar hiburan, ada suatu pelampiasan emosi, bisa mendidik, atau bisa jadi media yang lain. Sehingga misalnya begini: gue berani adu deh, orang yang khatam Efek Rumah Kaca dengan yang khatam misalnya musik yang ada di tv , pasti lebih cerdas, menurut gue, karena kontennya juga lebih berat.

Arif: Musik yang bagaimana yang bisa bikin orang jadi lebih cerdas?
Cholil: Substansinya bukan suatu hal yang udah banyak orang yang angkat dan begitu-begitu saja. Substansinya harus ada yang baru, ketika lo mendengarkan itu lo mendapatkan added value atau lirik itu mengajak lo untuk berpikir, atau musik itu, kompleksitas musiknya, bisa jadi meskipun nggak ada lirik lo bisa menelaah musik itu, mengajak lo untuk lebih dari sekedar menganggap musik itu lebih dari sekedar hiburan.
Akbar: Berangkatnya dari musisi, yang bikin harus sadar diri bahwa bikin karya, bukan cari duit. Lo berkarya dulu, berkarya yang baik dengan effort yang baik, pendengar akan memilih. Otomatis yang dengerin juga kebagian, dengan effort dengan nilai yang baik, dia kebagian juga. Jadi berangkatnya dari musisinya juga. Musisi dan pendengarnya mesti juga sama-sama bagus. Nilainya juga sama-sama bagus.

Paung: ERK kan performance-nya persis kaya di rekaman. Itu kuncinya bagaimana?
Cholil: Nggak, ah. Di recording gitarnya lebih banyak, di sini gitarnya cuma satu, gue doang.

Paung: Maksudnya ga ada fals-nya gitu
Akbar: Kata siapa, fals tau.

Cholil: Justru kita merasa kekurangan kita, kita kurang komunikatif, masih belajar,masih sama persis sama di rekaman, kurang improve.

Arif: Kesan manggung di STAN?
Akbar: Yang nonton banyak, ya.
Cholil: Untuk acara hari minggu malem, penontonnya oke, banyak.
Akbar: Bandnya bagus-bagus.
Cholil: 2-3 band sebelum kita bagus.

Arif: Pesan buat anak STAN dari sisi Efek Rumah Kaca atau kita sebagai calon pegawai negeri?
Akbar: Harus lebih baik daripada yang sekarang ya! Jangan terlalu sering memanfaatkan fasilitas negara, lah.
Cholil: Kalau ngeband, lo jadi diri sendiri, tapi lo juga berusaha explore. Jangan merasa nyaman. Harus resah, harus dinamis, supaya tidak begitu-begitu saja. Sama latihan. Lo jangan pengen cepet jago, harus lama. Memang susah main musik. Kalau mau yang bagus itu memang susah. Jadi kalo 1-2 tahun masih bego, wajar, karena memang lama. Bisa-bisa nggak jadi akuntan lo. Gue memilih jadi musisi. Gue daftar STAN dulu, nggak lulus, gue jadi musisi aja, deh. Akhirnya gue sekarang jadi akuntan juga musisi.


*dimuat juga di Majalah Civitas #6 Maret 2010

Tuesday, March 2, 2010

lunavartan_14: beracun banget lagunya.. hahaha

lunavartan_14: gw sekarang lagi denger let go nih
kurniawanrf: hahaha
kurniawanrf: gw banget
kurniawanrf: tapi gw lagi dengerin lagunya kotak
lunavartan_14: yg baru ya??
lunavartan_14: itu judulnya apaan sih?
lunavartan_14: gw juga kayanya suka nih
lunavartan_14: hahaha
lunavartan_14: gara2 sering denger
kurniawanrf: pelan2 saja
lunavartan_14: oia
lunavartan_14: gila
lunavartan_14: beracun banget lagunya.. hahaha
kurniawanrf: racun parah
kurniawanrf: padahal liriknya sederhana
lunavartan_14: iya
lunavartan_14: jadi pengen denger


***

Pelan-Pelan Saja – Kotak

ku tahu kamu pasti rasa apa yang ku rasa
ku tahu cepat atau lambat kamu kan mengerti
hati bila dipaksakan pasti takkan baik
pantasnya kamu mencintai yang juga cintai dirimu
cuma kamu

lepaskanlah ikatanmu dengan aku biar kamu senang
bila berat melupakan aku pelan-pelan saja

tak ada niat menyakiti inilah hatiku
pantasnya kamu mencintai yang juga cintai dirimu
cuma kamu

lepaskanlah ikatanmu dengan aku biar kamu senang
bila berat melupakan aku pelan-pelan saja
pelan-pelan saja

(lepaskan aku, lepaskan aku, lepaskan aku)
pelan-pelan saja

Monday, March 1, 2010

Dialog Sendiri Petang Hari

Rif, masih belom lupa, kan?
"Bapak cuma pengen IP kamu minimal 3."

Semangat belajar buat UAS, ya.