Saturday, July 31, 2010

Ini Budi. Ini Budi Lagi.

Ternyata, sesuatu yang kita anggap mudah dan remeh itu bisa jadi masalah yang menyulitkan kalau tidak dilakukan sungguh-sungguh. Contohnya adalah KTTA saya. Sejak pembuatan outline, rasanya tidak ada passion untuk mengerjakan karya yang seharusnya menjadi adikarya saya sebagai mahasiswa D3 STAN. Alhasil, saya mengerjakannya setengah hati, dan setengah hati itulah yang ternyata membawa beberapa kesulitan.

1. Kebiasaan buruk saya menunda-nunda pekerjaan yang memaksa harus begadang pada malam sebelum deadline outline. Ketika yang 9 orang lain hanya mengajukan draft outline sekali, kemudian revisi (juga sekali), dan ditandatangani oleh dosen pembimbing kami, saya harus melakukan revisi dua kali.

2. Buat orang yang langsung membuat surat survei saja mengalami keterlambatan menerima surat survei, apalagi saya yang menunda-nunda membuat surat survei tanpa alasan. Sebenarnya keterlambatan surat survei saya tidak separah beberapa orang lain --beberapa teman saya terpaksa mengganti judul KTTA karena surat survei yang tak kunjung turun--, tapi surat survei saya baru keluar ketika pegawai Setjen Depdiknas yang jadi objek survei saya harus dinas keluar kota seminggu, dan seminggu setelahnya saya harus menghadapi UTS. Padahal tenggat pengumpulan sudah terhitung dalam waktu mingguan.

3. Saya memaksakan untuk mencari data di pagi hari sebelum UTS KSPK (semestinya). Siangnya, terburu-buru saya dari Senayan menuju Bintaro, agar tidak telat ujian. Sialnya, usaha saya yang mempercepat survei ternyata sia-sia karena begitu tiba di parkiran kampus ada berita bahwa ujian hari itu dibatalkan. Helm saya pun ikutan apes, jatuh ketika saya parkir sehingga kacanya tidak dapat dibuka tutup dengan normal hingga saat ini.

4. Dosen pembimbing (dosbing), Pak Budi Mulyana, saya mengambil cuti ketika waktu pengumpulan kurang dari 1 minggu, sedangkan saya belum sama sekali memperlihatkan draft ke beliau. Alhasil, saya mesti mengurus surat permohoan keterlambatan pengumpulan KTTA.

5. Surat keterlambatan tersebut ternyata harus ditandatangani dosbing, padahal dosbing saya baru masuk 2 hari setelah batas waktu surat keterlambatan tersebut diajukan. Surat keterlambatan saya pun terlambat diajukan. Untungnya, Pak Budi Setiawan yang berwenag atas izin tersebut adalah orang yang pengertian nan baik hati. Meskipun penuh kesabaran menemuinya --dua kali saya mesti menunggu lebih dari 2 jam--, proses izin tersebut sangat mudah. Saya menunggu 3 jam, untuk bicara dengan beliau kurang dari 300 detik.

6. Routing slip, yang katanya berguna untuk yudisium nanti, milik saya hilang. Saya harus minta lagi ke sekretariat, dan mendapatkannya setelah bapak sekre itu mencari-cari di tumpukan-tumpukan kertas. "Kayanya udah abis, mas", katanya beberapa saat sebelum menemukan di tumpukan ketiga.

7. Karena terlambat mengumpulkan, saya mendapat waktu luang untuk menyempurnakan KTTA (walaupun sia-sia sepertinya). Saya survei lagi ke Kemdiknas, dan pulangnya hampir saja saya ditilang karena mau memutar lewat jalur khusus bus keluar terminal karena mencari SPBU yang ternyata sudah dibongkar karena berada di jalur hijau. (Maaf saya kewalahan menulis kalimat efektif)

8. Ketika harus menyerahkan draft, saya kehabisan kertas untuk mencetak. Waktu kurang dari setengah jam, padahal jarak dari rumah saya ke kampus untuk menemui dosen normalnya 45 menit, dan saya harus membeli kertas dulu lalu mencetak draft tersebut. Untung dosbing saya tidak berkomentar apa-apa atas keterlambatan saya yang hampir 1 jam itu.

9. Waktu harus menyerahkan hasil revisi untuk ditandatangani dosbing, kunci motor saya hilang (keselip) dan baru ditemukan setelah grusak-grusuk setengah jam lebih. Dan saya telat lagi.

10. KTTA saya sudah diperiksa dosen penilai (dosnil) dan sudah direvisi. Namun kali ini bukan kertas yang habis, melainkan tinta printernya. Saya akhirnya ke kontrakan, meminjam printer Agus. Harusnya KTTA saya diserahkan pagi, tapi saya baru menemui dosnil sorenya karena ketika siang saya temui, beliau terburu-buru untuk rapat. Itu pun saya salah membawa KTTA yang telah dikoreksi. "Temui saya besok pagi saja", begitu kata dosnil saya dengan bijaknya.

11. Besoknya saya menemui dosnil, dan ternyata harus mencetak ulang lembar penilaian yang mestinya beliau tanda tangani. Kata beliau mestinya bulannya Juli, bukan Juni.

12.Saya menunda meng-hard cover-kan KTTA saya beberapa hari karena mencari-cari lembaran penilaian yang ternyata masuk ke dalam lemari meja belajar saya, padahal saya kira ada di kontrakan.

***
Jauh maksud saya untuk mengeluh dalam poin-poin di atas. Saya hanya mau berbagi. Siapa tahu ada yang sudi menjadikannya pelajaran: segala sesuatu harus dikerjakan sepenuh hati.

sayangnya separuh hati saya masih tertinggal padanya

Monday, July 5, 2010

Memilih adalah Mengambil Pilihan di antara Pilihan-pilihan yang Ada

Saya rasa memang tidak ada salahnya jika orang berkata: hidup itu pilihan. Nyatanya memang dalam menjalani kehidupan, kita sering dihadapi pilihan. Malah di pikiran saya saat ini terlalu banyak pilihan. Setelah mengambil suatu pilihan, ternyata pilihan itu menawarkan pilihan-pilihan lain yang tentunya harus dipilih--buat saya, tidak memilih itu juga berarti memilih--.

Saya beri contoh dalam beragama. Awalnya kita dihadapkan pilihan: percaya Tuhan atau tidak. Ketika memilih percaya, kita dihadapkan pada beragama atau tidak. Pilihan beragama itu menawarkan lagi: Islam, Katolik, Yahudi, dan lain-lain. Setelah memliih Islam, kembali lagi dihadapkan pada pilihan-pilihan lainnya (tanpa bermaksud mengkotak-kotakan). Meskipun kenyataannya, kebanyakan dari kita dalam beragama tidak merasa dalam pilihan. Toh, hampir kebanyakan kita 'dipilihkan' sejak lahir.

Awalnya saya berpendapat bahwa yang penting itu bukanlah ketika kita dihadapkan pilihan dan harus memilih, tapi yang utama adalah bagaimana kita meyakini apa yang telah kita pilih, memperkuatnya, dan menjalankan konsekuensi atas pilihan tersebut. Mungkin bisa dibilang ini salah satu usaha saya dalam mengkonstruksi pikiran sebagai seseorang yang tidak suka menyesal. Namun sepertinya saya mesti mengoreksi pendapat saya. Ternyata, memang semestinya kita tahu pilihan-pilihan yang akan dipilih. Akan lebih baik lagi kita mengetahuinya dengan penuh, termasuk kemungkinan konsekuensi dari pilihan tersebut.

Alasan saya berpikir demikian karena belakangan ini saya sering dilanda keraguan atas pilihan-pilihan yang telah saya lakukan --saya tidak sedang bicara masalah agama--. Nyatanya, saya merasa bahwa saya mesti yakin seyakin-yakinnya pilihan yang saya akan pilih itu adalah yang benar. Mencari tahu lebih banyak dan dengan bersikap adil pada tiap-tiap pilihan seolah-olah menjadi hal yang wajib bagi saya. Namun (lagi), sayangnya, semakin banyak yang saya tahu, semakin besar bimbang yang berkembang. Padahal ada hal-hal dimana tidak ada pilihan untuk "tidak memilih".

Pada akhirnya saya kembali pada pembenaran-pembenaran yang telah saya sebutkan dan menambahkan satu pembenaran lagi: bahwa sebenarnya kita memang 'dicondongkan' pada suatu pilihan karena itu yang harus kita pilih, jalankan, dan pelajari, sehingga kita tahu mana yang benar, mana yang salah.