Wednesday, October 14, 2009

IPK Saya 2,87. Apakah Mesti Bersyukur?

IPK yang ditunggu sejak berminggu-minggu lalu akhirnya keluar juga. 2,87, angka yang dapat dibilang rendah dalam skala mahasiswa STAN. Apalagi jika dihitung-hitung, ternyata IP semester ini turun drastis dari sebelumnya. IP semeser ini sekitar 2,7 padahal semester sebelumnya 2,97. Kecewa? Belum tentu. Sepertinya saya harus bersyukur atas angka 2,87 tersebut jika mengingat usaha saya kemarin-kemarin.

Tak pantaskah kita untuk bersyukur atas apapun yang kita alami? Apapun itu, termasuk IP yang rendah, sebuah bencana alam, maupun "penghinaan".

Gempa di Tasik, Padang, dan tempat lainnya adalah sebuah peringatan. Peringatan itu adalah suatu hal yang mestinya kita syukuri karena Alloh masih menyayangi kita dengan memberikan peringatanNya. Pun sepatutnya kita bersyukur masih diberikan kesempatan bisa memikirkannya serta memperbaiki apa yang telah salah kita perbuat. Cobalah bayangkan kalau saat ini kita terjepit dalam reruntuhan beton, kaki tertusuk baja konstruksi, dan nafas mulai sesak, sedangkan kita baru saja membentak orang tua kita, belum sholat Isya, dan sedang bertengkar dengan seorang teman. Semoga kita bisa bersyukur dengan keadaan kita saat ini.

Tentang hal sebuah "penghinaan", mengenai kebudayaan kita, yang kata media, diakui oleh Malaysia. Tidak semestinyakah kita berterima kasih karenanya budaya tradisional kita yang semakin tersingkirkan oleh roda globalisasi kini kembali "naik daun"? Lalu, tidakkah semestinya para pedagang batik itu bersyukur karena omsetnya akhir-akhir ini naik berkali-kali lipat?

Apabila mau dicerna lebih baik lagi, ternyata setiap peristiwa, tragedi sekalipun, memiliki bagian-bagian yang patut disyukuri, baik kini atau nanti.
Sehingga tidak ada salahnya dengan cerita seorang yang terjatuh dari sepeda dan lututnya berdarah, lalu seorang lain berkata: "ah, syukurlah. untung bukan kena kepala."

Tidak ada kata terlambat untuk bersyukur, karena terkadang kesadaran untuk bersyukur memang baru datang setelah kita mengetahui hikmah suatu peristiwa. Selain itu, bersyukur tidak hanya terbatas pada kata "alhamdulillah", apalagi kemudian berpuas pada keadaan yang berlangsung. Bersyukur tidak serta-merta berarti menikmati apa adanya.

Kembali pada konteks IP, saya sangat bersyukur, meskipun IP saya terbilang buruk, saya masih bisa melanjutkan pendidikan di kampus saya yang sekarang ini, atau singkatnya: saya tidak DO. Bersyukur berbeda dengan berpuas diri dengan keadaan saat ini. Karena saya harus mencetak IP 3,6 di semester depan.
Saya juga bersyukur atas tidak terdepaknya saya, karena dengan begitu saya tidak perlu menambah waktu saya untuk menjadi mapan demi jenjang kehidupan saya berikutnya, serta tak perlu mengubah terlalu banyak rencana hidup saya.
Nikah muda? Saya sih tidak mau nikah tua.

Saturday, October 3, 2009

Bukan Sebuah Pembenaran Juga, Sih

Pos Kota kemarin pagi (2/10), di halaman muka pojok kiri atas tertulis besar-besar: DPR BOLOT. Mengganggu sekali rasanya tulisan itu meskipun memang koran ini memili track record yang kurang baik dalam tata bahasa. Terlalu mencari sensasi dengan cara yang sangat tidak sopan, menurut saya. Padahal media memegang peran penting dalam pembentukan opini publik dan pendidikan. Apa jadinya kita kalau terus menerus dijejali dengan paradigma seperti itu?
Ternyata kata-kata itu berasal dari hasil wawancara mahasiswa yang berdemo di depan gedung DPR pada hari sebelumnya. "DPR yang sekarang itu benga, bolot, ...," begitu yang tertulis dalam artikel tersebut
Ah, hebat sekali mahasiswa itu, (jika memang koran ini benar mewartakannya) dapat menilai DPR yang belum bekerja sama sekali. Terlalu gegabah, menurut saya, tudingan itu. Kasihan wakil rakyat kita yang masih berpendengaran dan berkelakuan baik. Padahal, sebagai contoh, bahwa fraksi PKS menyerahkan seluruh hasil representasi yang diterima selama pelantikan (yang berbiaya 38 miliar rupiah) untuk disumbangkan kepada korban gempa Sumbar. Sementara itu, artis-artis legislatif yang selama ini dituding miring dan dipandang sebelah mata (lagi, belum bekerja namun sudah dicela) menjanjikan gaji pertamanya untu korban gempa. Yang juga memprihatinkan adalah penyampaian penilaian dengan kata-kata seperti itu kurang menunjukkan status kemahasiswaannya, yang semestinya lebih berintelektual dengan menunjukkan sikap skeptis bukan sinis. Bukankah seharusnya mereka berpikir dan mengetahui keadaan sebelum berpendapat, apalagi di depan publik. Ataukah memang bangsa ini sudah terjangkit sinisme akut?
Partai menyumbang dituduh mendulang massa.
Orang berbuat baik disangka mencari nama.
Tidak menyapa langsung dituding sombong.
Mengajak kebenaran dibilang omong kosong.
Apakah ini hasil dari kebobrokan masa lalu? Lalu kita meneruskannya dengan kebobrokan gaya baru?
Memang, di saat-saat krisis dibutuhkan pemikiran-pemikiran yang kritis. Namun bukan yang diwarnai dengan praduga negatif yang berujung sinis, melainkan pemikiran yang skeptis dengan tujuan yang bersih, bukan sekedar mencari sensasi. (Meskipun kita kadang memang butuh sensasi agar mendapat hati dari mereka yang tak peduli)

Jadi ingat percakapan ketika mendengar berita pelantikan yang akan memakan 38 miliar uang rakyat dalam sehari dengan Mba Nita, kakak perempuan saya yang kini statusnya PNS.
Arif: Ckck, parah banget. Itu buat apaan aja, ya?
Mba Nita: Asal lo tau ya, rip. Ga cuma di DPR, di kantor gw juga ada acara yang ga jelas gitu, makan dana gede pula. Kayanya emang di tiap departemen kaya gitu juga ada.

Mungkinkah kalau mahasiswa itu mengetahui akan berteriak sama: pemerintah bolot, pegawai negeri bengak.
Ah, kasihan sekali guru-guru kita yang bersusah payah menjadi PNS kalau ternyata nantinya digeneralisasi dengan gegabah seperti ini.

Friday, October 2, 2009

Tentang Komunitas

A bond makes boundaries. Sebuah ikatan di satu sisi menimbulkan batasan-batasan di sisi-sisi lainnya.

Setiap orang mungkin, atau malah pasti, memiliki lebih dari satu komunitas dalam hidupnya. Selain karena kebutuhan akan sosialisasi dengan orang lain, juga karena hidup seseorang pasti terus berkembang dan tidak hanya berada di suatu tempat.

Komunitas itu terbentuk bisa karena keinginan (sengaja menggabungkan diri) maupun karena kebutuhan (mau tidak mau harus terlibat dalam sebuah kelompok). Kalau komunitas yang terbentuk karena sengaja misalnya adalah masuk ke dalam organisasi, kelompok pecinta sesuatu, atau kelompok-kelompok lainnya yang tidak ada paksaan untuk bergabung di dalamnya, atau istilahnya ora melu ya ora pateen, sementara kalau karena kebutuhan contohnya yaitu ketika masuk sekolah baru, mau tidak mau harus bergabung, setidaknya berinteraksi dengan anak-anak di sana atau sebuah contoh yang mutlak dari komunitas ini adalah keluarga. Semua orang pasti punya keluarga, baik itu cuma seorang bapak, seorang ibu, atau pengasuh di yayasan sekalipun.

Komunitas-komunitas yang kita masuki selama hidup, secara sadar maupun tidak sadar mempengaruhi kita, dan kita pun juga mempengaruhi orang-orang yang ada di dalamnya. Hidup kita, termasuk cara pandang dan perilaku, salah satunya terbentuk akibat interaksi yang timbal-balik antara kita dalam komunitas-komunitas tersebut. Komunitas yang kita jalani pada awalnya tidak selalu sesuai dengan kita. Oleh karena itu kita melakukan penyesuaian baik dengan mengubah diri kita maupun mempengaruhi orang-orang di dalamnya. Maka tidak salah bila ada perkataan: jika kamu ingin mengenal seseorang, lihat saja teman-temannya. Bergaul dengan tukang minyak wangi maka akan terciprat wanginya, bergaul dengan pandai besi maka akan terkena apinya.

Seseorang pun biasanya akan berusaha menjadikan dirinya senyaman mungkin di tiap-tiap komunitas yang diikutinya. Namun disanalah letak permasalahannya, yaitu pada usaha-usaha “menyamankan diri” di tiap komunitas yang tentunya berbeda-beda. Antarkomunitas yang berlainan tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda, dan tidak jarang kepentingan-kepentingan tersebut saling bergesekan yang dapat menimbulkan konflik. Hal lainnya yaitu keterbatasan manusia. Kemungkinannya adalah nihil bagi seseorang berada di dua komunitas yang berbeda dalam waktu yang sama, meskipun biasanya dalam sebuah wawancara ataupun sejenisnya seseorang akan berkata: saya akan 100% di sana dan juga 100% di sini. Selain itu, ketertarikan sesorang pada sesuatu tidak selalu pada intensitas yang tetap, atau istilahnya lagi kurang mood. Hal-hal tersebut yang menjadikan sebuah ikatan di satu komunitas akan menjadi batasan di komunitas lainnya. Ketika sedang merasa nyaman di satu komunitas, maka rasanya enggan beranjak ke komunitas lainnya, meskipun sangat dibutuhkan sekalipun. Sebuah ikatan yang kita rasakan di suatu komunitas seolah-olah membuat batasan-batasan untuk kita berbaur dengan yang lainnya.

Sebenarnya saya cuma mau bercerita bahwa akhir-akhir ini saya lagi merasa begitu jauh sama temen-temen saya di salah satu komunitas yang saya ada di dalamnya, tetapi saya sedang merasa nyaman-nyamannya di komunitas yang lain. Sementara itu kalo saya pikir-pikir, ternyata saya baru sadar kalau beberapa bulan atau setahun belakangan ini saya kurang kontribusi, atau kalau kata Afgan di iklan motor: ga ng-eksis, di komunitas atau sebut saja organisasi yang sekarang lagi nyaman-nyamannya saya rasakan karena terlalu sibuk di komunitas lainnya.

p.s.:
mengenai bahasa inggris di kalimat awal, mohon maaf kalau ternyata kurang tepat dan mengganggu pandangan. Jadi tolong dikoreksi bagi yang kebetulan baca, mengetahui, dan peduli. Selain itu, saya tidak melakukan kajian pustaka sama sekali untuk menulis ini. Semua berdasarkan pengalaman dan pengamatan sekilas saya saja, dengan kata lain: sotoy-sotoyan belaka.