Saturday, October 3, 2009

Bukan Sebuah Pembenaran Juga, Sih

Pos Kota kemarin pagi (2/10), di halaman muka pojok kiri atas tertulis besar-besar: DPR BOLOT. Mengganggu sekali rasanya tulisan itu meskipun memang koran ini memili track record yang kurang baik dalam tata bahasa. Terlalu mencari sensasi dengan cara yang sangat tidak sopan, menurut saya. Padahal media memegang peran penting dalam pembentukan opini publik dan pendidikan. Apa jadinya kita kalau terus menerus dijejali dengan paradigma seperti itu?
Ternyata kata-kata itu berasal dari hasil wawancara mahasiswa yang berdemo di depan gedung DPR pada hari sebelumnya. "DPR yang sekarang itu benga, bolot, ...," begitu yang tertulis dalam artikel tersebut
Ah, hebat sekali mahasiswa itu, (jika memang koran ini benar mewartakannya) dapat menilai DPR yang belum bekerja sama sekali. Terlalu gegabah, menurut saya, tudingan itu. Kasihan wakil rakyat kita yang masih berpendengaran dan berkelakuan baik. Padahal, sebagai contoh, bahwa fraksi PKS menyerahkan seluruh hasil representasi yang diterima selama pelantikan (yang berbiaya 38 miliar rupiah) untuk disumbangkan kepada korban gempa Sumbar. Sementara itu, artis-artis legislatif yang selama ini dituding miring dan dipandang sebelah mata (lagi, belum bekerja namun sudah dicela) menjanjikan gaji pertamanya untu korban gempa. Yang juga memprihatinkan adalah penyampaian penilaian dengan kata-kata seperti itu kurang menunjukkan status kemahasiswaannya, yang semestinya lebih berintelektual dengan menunjukkan sikap skeptis bukan sinis. Bukankah seharusnya mereka berpikir dan mengetahui keadaan sebelum berpendapat, apalagi di depan publik. Ataukah memang bangsa ini sudah terjangkit sinisme akut?
Partai menyumbang dituduh mendulang massa.
Orang berbuat baik disangka mencari nama.
Tidak menyapa langsung dituding sombong.
Mengajak kebenaran dibilang omong kosong.
Apakah ini hasil dari kebobrokan masa lalu? Lalu kita meneruskannya dengan kebobrokan gaya baru?
Memang, di saat-saat krisis dibutuhkan pemikiran-pemikiran yang kritis. Namun bukan yang diwarnai dengan praduga negatif yang berujung sinis, melainkan pemikiran yang skeptis dengan tujuan yang bersih, bukan sekedar mencari sensasi. (Meskipun kita kadang memang butuh sensasi agar mendapat hati dari mereka yang tak peduli)

Jadi ingat percakapan ketika mendengar berita pelantikan yang akan memakan 38 miliar uang rakyat dalam sehari dengan Mba Nita, kakak perempuan saya yang kini statusnya PNS.
Arif: Ckck, parah banget. Itu buat apaan aja, ya?
Mba Nita: Asal lo tau ya, rip. Ga cuma di DPR, di kantor gw juga ada acara yang ga jelas gitu, makan dana gede pula. Kayanya emang di tiap departemen kaya gitu juga ada.

Mungkinkah kalau mahasiswa itu mengetahui akan berteriak sama: pemerintah bolot, pegawai negeri bengak.
Ah, kasihan sekali guru-guru kita yang bersusah payah menjadi PNS kalau ternyata nantinya digeneralisasi dengan gegabah seperti ini.

2 comments:

  1. Yoyok Sugiharto :
    Pencitraan buruk tidak saja terjadi di dalam dunia Media Massa saja khususnya media cetak seperti yang telah disebutkan, namun hal itu berlanjut pada semua tayangan-tayangan di beberapa stasiun televisi yang kerap membuat masyarakat bertambah berpikiran liar dan tidak terkontrol. Contoh nya tayangan-tayangan Debat Publik, Crazy Democrazy dan lain-lain nya.
    Hal seperti ini harus lah terawasi dengan bijak.

    ReplyDelete
  2. kontrol pemikiran masyarakat? rasa-rasanya berbau orba.

    ReplyDelete