Thursday, March 18, 2010

Media dan Kuasa

Four hostile newspapers are more to be feared than a thousand bayonets

Empat surat kabar musuh lebih ditakutkan daripada seribu bayonet. Ucapan Napoleon Bonaparte, seorang kaisar Perancis yang hampir menguasai seluruh daratan Eropa, membuktikan media massa memang memiliki pengaruh yang besar sejak dahulu. Pengaruh yang besar ini pun disadari oleh rezim-rezim otoriter semacam Musolini, Hitler, atau Pol Pot untuk mempropagandakan pahamnya. Demikian pula yang terjdi di negara ini, meskipun tidak secara eksplisit, keberadaan media massa di Indonesia dibatasi kebebasaannya untuk kepentingan pemerintah hingga era reformasi. Usaha pemerintah untuk menjinakkan media terlihat sejak zaman Belanda melalui RR 1856, kemudian orde lama lewat Peraturan Peperti No. 10 tahun 1960, hingga orde melalui Departemen Penerangan dengan instrumen yang terkenal sebagai SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Pembatasan ini menjadikan pengaruh yang dimiliki media secara tidak langsung diorientasikan sebagai partisan pemerintah.

Pada saat ini, ketika pers mendapat kebebasan yang dilindungi oleh hukum , pengaruh media massa menjadi semakin meningkat. Bahkan media massa lebih dipercaya dari pemerintah. Isu-isu tentang kesalahan atau kegagalan pemerintah cepat beredar di masyarakat. Sementara itu pemerintah tak dapat mengelak dari tekanan dari masyarakat, terutama media. Apa yang menyebabkan media massa memiliki pengaruh yang sedemikian kuat? Redi Panuju, dalam bukunya yang berjudul Relasi Kuasa, menyebutkan empat faktor yang menjadikan media massa begitu berpengaruh:
1.       Media menciptakan kesan (image)
2.       Media massa mampu memberikan liputan apa yang terjadi menjadi lebih nyata
3.       Media massa merepresentasikan pandangan-pandangan yang dipakai masyarakat
4.       Media diyakini sejak lama menjadi semacam kanal yang berfungsi mengalirkan emosi dan kecenderungan distruktif psikologis lainnya yang menjadi gejala internal (individu) yang wajar (normal)

Tidak dapat disangkal, di era informatika ini, urgensi akan media semakin meningkat sebab setiap orang membutuhkan informasi yang cepat dan tepat demi menjamin aktualisasi dirinya masing-masing. Dalam hal ini, adalah peranan media massa untuk menyediakan informasi bagi khalayak. Sejak era reformasi, euforia kebebasan yang didengungkan menjadikan media massa berkembang begitu pesat. Secara kuantitatif, berdasarkan data yang diperoleh dari antara.co.id,  dapat dilihat pada setahun pascareformasi jumlah media cetak melonjak menjadi 1.687 penerbitan atau bertambah enam kali lipat padahal selama 32 tahun era Orde Baru hanya berdiri 289 media cetak, enam stasiun televisi dan 740 radio. Jumlah media cetak  pada 2008 telah berkurang dan tercatat sebanyak 830, sedangkan jumlah televisi meningkat menjadi  60, radio berizin 2.000, dan 10 ribu radio gelap. Sementara itu, jumlah wartawan saat ini mencapai 40 ribu orang. Tak ayal, media massa menjadi begitu mendominasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Jenis Media
Tahun 1997
Tahun 1999
Surat kabar
79 perusahaan
299 perusahaan
Tabloid
88 perusahaan
866 perusahaan
Majalah
141 perusahaan
491 perusahaan
Buletin
8 perusahaan
11 perusahaan

Degradasi dalam Dominasi

Meskipun jumlah media massa meningkat demikian drastis, ternyata, berdasarkan hasil riset yang dilakukan di seluruh dunia, tingkat kepercayaan masyarakat atas fakta yang disampaikan oleh media massa ternyata menurun. Misalnya pada survey Trust Barometer 2009 yang  didasarkan pada wawancara dengan 4.475 orang di 20 negara, menemukan bahwa hanya 28 persen dari Inggris percaya publik media pada umumnya. H.  Ansyari Thayib, mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim, dalam ceramahnya di tahun 2001 menyatakan pernah meniliti bahwa lebih dari lima puluh persen responden yang menyatakan tidak percaya terhadap realitas faktual yang disampaikan media. Sehingga ungkapan yang mengatakan “makin cerdas wartawan, makin cerdas masyarakatnya; makin bodoh wartawan, makin bodoh pula masyarakatnya” berganti bunyi menjadi “makin cerdas wartawan, makin cerdas masyarakatnya; makin bodoh wartawan, makin tidak percaya masyarakatnya”. Sementara itu, dari 200 lembar kuisioner yang telah disebarkan, 62% responden yang berasal dari mahasiswa STAN menyatakan percaya tehadap media massa secara umum. Selain itu, lebih dari setengah responden menyatakan cukup terpengaruh terhadap pemberitaan media massa meskipun  46% menyatakan media massa kurang independen.
Konsep media sebagai pilar demokrasi keempat, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, kini juga makin kurang populer.

Faktor utama yang menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap media yang paling utama yakni media massa saat ini cenderung berkembang ke arah bisnis daripada pengabdian kepada masyarakat yang seharusnya menjadi idealisme seorang wartawan. Berdasarkan kategori iklan dan kualitas media, Dewan Pers mencatat hanya sekitar 30 persen dari 1008 media massa yang sehat secara bisnis. Akibatnya, demi keberlangsungan usahanya secara ekonomi, media massa kini cenderung dikuasai oleh pemilik modal, termasuk para politikus, yang menggunakan media demi keuntungan komersial maupun menunjang kekuatan politik daripada memeberikan pencerdasan dan pencerahan kepada masyarakat.

Dari fakta yang ada, bullet theory, yang menyatakan media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa, memang sudah tidak relevan lagi mengingat kepercayaan masyarakat terhadap media yang makin menipis. Tetapi dalam teori komunikasi massa juga dikenal teori agenda setting. Media memang tidak dapat mempengaruhi secara langsung masyarakat, tapi dapat mempengaruhi masyarakat mengenai isu mana yang patut dibahas. Apa yang diberitakan media saat ini selalu menjadi isu yang kerap dibahas. Meskipun tidak membentuk opini publik secara utuh, pengaruh ini mengarahkan masyarakat untuk menilai urgensi suatu isu untuk diselesaikan, sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah, juga masyarakat. Dengan pengaruh seperti ini, para penguasa media dapat saja mengalihkan isu yang merugikan dirinya jika dibahas ke isu lain yang tidak ada kaitannya. Namun tidak sepenuhnya stimulus yang diberikan media, terutama di Indonesia, berimplikasi negatif terhadap masyarakat. Misalnya saja pada kasus Bilqis, media massa memiliki andil serta dalam mengarahkan perhatian massa di tengah suasana politik negeri ini yang sedang panas untuk menunjukan simpati terhadap sesama.


No comments:

Post a Comment